Title : That Person

Author : Atikpiece

Cast :

  • Shin Jee Hee (OC)
  • Taeyang as Dong Youngbae (BIGBANG)

Genre : AU and Romance

Rating : G

Length : Vignette ._.

A/N : Sebenernya ini FF lama, sekitar Desember 2011 yang lalu. Tapi, karena isinya masih acakadut akhirnya aku revisi sedemikian rupa. Dan FF ini dibuat karena terinspirasi dari status teman aku di pesbuk ^^v

 

Oh, iya. untuk FF request, sedang dicicil, jadi mohon tunggu tanggal penerbitannya ya ^^v.

 

Yuk, yuk tanpa banyak bercekcok ria dan ngalor ngidul tiada tujuan silahkan di cekidut, jangan lupa RCL, okay ? ^_^

 

 

Let’s Enjoy !

*****

 

Kini, aku berdiri bersebelahan dengan mejaku sambil memandang ke luar jendela. Kutatap langit senja bercampur awan mendung dengan tangan menopang dagu. Seakan aku sudah sering—bahkan—terlalu sering melihat ciptaan Tuhan yang satu itu. Meski tak ada angin semilir namun rambut panjang milikku seperti melayang kecil. Karena masih ada sisa air menitik dari setiap ujungnya, membuatku harus menunggu rambutku mengering.

Aku kehujanan, setelah kutahu sejak pagi awan keabu-abuan itu bergumul ria menutupi matahari. Aku juga baru ingat kalau aku tidak bawa payung semenjak berada di kampus. Betapa bodohnya aku mengabaikan petuah yang sering kudengar yakni “Sedia Payung Sebelum Hujan.”

Akhirnya, aku hanya bisa terdiam dengan memeluk beberapa buku tebalku, menatap butiran-butiran air yang jatuh bersamaan di jalan. Begitu cepat dan bergemuruh, mengusik kesunyian ketika suasana kampus mulai lengang.

Saat itu, arlojiku menunjukkan pukul dua belas. Seharusnya aku sudah berada di rumah sekarang. Mengerjakan tugas sambil mendengarkan musik ditemani secangkir teh hangat. Ah, memikirkannya saja sudah membuat sudut bibirku tertarik dan senyumku mengembang seketika.

Tapi sayangnya, hujan kali ini malah membuatku terjebak dalam kesendirian. Seperti sedang tidak mau bersahabat denganku hingga semakin lama hujannya semakin deras. Aku mendesah berkali-kali sekalipun aku harus menengadah menerima tetesan air yang jatuh dari genting. Atap kampusnya bocor. Memang sejak awal aku sudah menyadarinya.

Aku kembali meniup udara dingin dari bibirku seraya melihat luasnya tempat parkir tak jauh dari posisiku. Kedua alisku terangkat dimana kutahu masih ada mobil sedan hitam terparkir disana. Milik siapa itu, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, masih ada seseorang disini selain aku.

Oh iya, aku ingat. Sebelum aku keluar dari kampus, sempat terlihat Dong Youngbae masih menekuni buku catatannya di perpustakaan. Dia membaca sambil mendengarkan lagu dari headphone jingga kesayangannya. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk bahkan menggeleng tak pasti. Aku rasa, dia sedang menikmati musik yang sedang dimainkan.

Meskipun aku melihatnya dari luar jendela namun aku sangat menyukai gayanya. Langkahku tiba-tiba terhenti saat kulihat rambut mohawk yang menjadi ciri khasnya itu dapat menarik perhatianku dari orang-orang yang berlalu lalang di hadapanku. Aku tidak bisa jika tidak tersenyum ketika dia bertingkah konyol seperti menjentikkan jari-jarinya atau memutar-mutar cincin penuh ukiran itu. Semakin lama dia bersikap aneh, aku semakin ingin merapat dengan telapak tangan menempel ke jendela karena aku ingin melihatnya lebih dekat—entah mengapa.

Sekarang, jarak Youngbae duduk dengan posisiku berdiri hanya sekitar empat puluh sentimeter. Tapi, dia tidak menyadari keberadaanku. Dia terus membaca bukunya—sampai suatu ketika teman lamaku itu mendongak dan memandang sekeliling. Kemudian dia mengakhiri aktivitasnya dengan kedua mata melihat wujudku di balik jendela. Awalnya dia menatap wajahku dengan mimik muka datar. Namun lambat laun ia membuka matanya lebar dan tersenyum manis ke arahku.

Astaga, lihat ! Dia benar-benar menampakkan senyum itu padaku. Padahal selama ini, dia jarang—bahkan hampir tidak pernah memperlihatkannya. Apa karena dia sedang mood atau hal lain, aku tidak mengerti. Namun semenjak itulah organ di bagian dadaku tiba-tiba berdetak tidak senormal tadi. Pipi mungilku menunjukkan semburat merah diikuti kedua kakiku yang hampir melemas. Aku terus menatap matanya lalu tiba-tiba saja dia melambaikan tangannya ke arahku. Oh, God. Apa ini ? Sepertinya aku hampir membeku karenanya.

Akan tetapi, perasaan senang yang kudapati perlahan meredup. Aku jadi teringat akan kasak-kusuk yang beredar di kampus ini kalau pria itu sudah memiliki pendamping hidup—atau bisa dibilang memiliki kekasih. Selama ini aku belum pernah melihat siapa wanita yang menjadi pilihannya. Tapi, aku yakin. Dia pasti adalah wanita yang sangat baik dan beruntung karena memiliki seorang Youngbae yang kutahu adalah orang yang begitu pengertian.

Yah, aku tahu. Seharusnya aku senang dan berharap hal tersebut bukan hanya sekedar gosip atau kebohongan belaka sebab pria itu sudah lama mempunyai impian untuk mendapatkan seorang pendamping hidup. Tapi, entah kenapa hatiku berkata lain. Justru aku ingin semuanya hanya omong kosong. Seperti diriku yang ingin terbangun dari mimpi buruk. Aku sudah melalui masa-masaku dengannya cukup lama, namun yang terpendam di dalam benakku selama ini ialah…

 

Jika Tuhan berkehendak untuk merubah kenyataan, aku ingin jika wanita pilihannya itu adalah……aku.

 

“Jee Hee-ya.”

Dengan tubuh gemetaran aku menoleh, menatap wajah rupawan yang sudah tak asing lagi bagiku—dan telah membuyarkan lamunanku tentangnya juga atas kejadian sebelumnya. Dia mengenakan jaket tebal dengan ransel bertengger di bahu kanannya. Pria itu tersenyum, mengalihkan pandanganku dari rambut mohawk-nya. Dan seketika itu pula aku ikut tersenyum lalu melambai kecil.

“Youngbae-ah…”

“Kau belum pulang ?”

Aku terdiam, kemudian menggeleng. Sepersekian detik aku menatap mata kecilnya dan entah dari mana aku seperti mendapatkan setitik kehangatan ketika ia kembali memperlihatkan senyum manisnya padaku. Dan…oh, sepertinya wajahku terasa hangat dan hampir memanas. Lalu aku berdiri membelakanginya dengan gerakan yang menurutku sungguh kaku. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya dan semburat merah bak tomat itu tiba-tiba muncul lagi di pipiku. Astaga, padahal dia itu temanku tapi baru kali ini aku bersikap tidak seperti biasanya.

Aku yakin dia pasti akan menganggapku aneh. Namun, dengan sikap santai dia melangkahkan kakinya kemudian berdiri sejajar denganku. Dia memasukkan tangannya ke saku jaket dan mendongak. Meski jarakku dengannya hanya beberapa sentimeter saja, tapi aku bisa merasakan dia melirik wajahku berulang kali. Sesekali dia tersenyum dan menunduk. Jadi, ada yang salah dengan wajahku ? Ada apa dengan penampilanku ? Apa aku kelihatan lucu atau …

“Youngbae, kau… tidak pulang ?” Aku mengeluarkan pertanyaan basa-basi agar aku tidak merasa gugup.

Dia berkedip dua kali dan kedua bahunya terangkat. “Sebentar lagi. Kau butuh tumpangan ?”

Sebisa mungkin aku tertawa dan kembali menggeleng. “Tidak perlu. Lagipula, aku juga sedang tidak mau merepotkanmu.” Aku mendengar dia mendesah, lalu berdecak pelan. “Kalau sudah tidak betah, lebih baik kau pulang duluan saja.”

Mata pria itu membulat sempurna. “Tapi, kau …?”

“Aku akan menunggu sampai hujannya reda.”

“Bagaimana kalau tidak kunjung reda ?”

Aish, kata-katamu bisa menjadi do’a, kau tahu ?”

“Hei, hei, aku tidak sedang berdo’a. Aku hanya bertanya.”

Aku tidak mengerti dengan keadaan hatiku saat ini tapi perdebatan kecilku dengannya bisa sedikit membuat rasa canggungku berkurang dan seketika dapat meruntuhkan dinding yang berdiri tegak diantara kami. Dengan meluncurkan kata-kata canda seiring dengan kedua tanganku yang mendorong tubuhnya berkali-kali supaya dia cepat pergi itu dapat kulakukan dengan leluasa. Tapi, pergerakanku terhenti sejenak ketika aku mendengar kata-kata yang dia ucapkan untukku.

 

“Kenapa kau ingin sekali aku pergi ? Dengar, ya. Aku tidak peduli jika waktuku akan terbuang percuma. Yang terpenting adalah, sampai kapanpun, aku ingin disini menemanimu, titik.”

 

Lagi-lagi aku membisu. Napasku seakan tertahan dan tertutup rapat di dalam paru-paruku. Mulutku berhasil terbuka seolah kalimat-kalimatnya barusan berdengung di kepalaku. Kemudian aku melamun lagi dan terus memikirkannya. Entah tiba-tiba aku jadi berpikir jika dia mulai menganggapku lebih dari sebatas teman tapi tentu saja itu tidak mungkin. Aku terlalu berlebihan. Sadarlah kau, Shin Jee Hee.

“Yah, terserah. Tapi aku tidak mau tahu kalau kekasihmu nanti sampai salah paham padaku.”

Sepertinya aku mengeluarkan kata-kata itu tanpa aku pikir dahulu. Tiba-tiba saja meluncur di bawah alam sadarku. Di dalam hati aku memaki-maki diriku dan aku sungguh menyesal mengatakannya. Bahkan dia membalasnya dengan sebelah alis terangkat dan tersenyum simpul.

“Aku tahu.” Jawabnya singkat. Darahku berdesir seketika ketika aku mendengar tanggapannya. Jika dia menjawabnya seperti itu berarti sesuatu yang aku harap takkan pernah terjadi malah bertolak belakang. Mataku membulat lagi dan hatiku seperti tersayat benda tajam—begitu menyadari jika gosip itu berubah menjadi fakta sesungguhnya.

“Jadi, rumor itu benar…” Aku tersenyum getir. Dan entah mengapa aku jadi tidak berani menatap matanya lagi. Dia menggaruk-garuk tengkuk kemudian memutar bola matanya. “Kalau benar, memangnya kenapa ?”

Aku terkejut dan jantungku rasanya seperti meledak. “… tidak apa-apa. Bukankah itu impianmu ?”

Dia mengangguk pelan dan arah matanya tertuju pada air hujan yang menitik dari ujung genting. “Tentu saja.” Kemudian dia berbalik, menatapku dan sepertinya dia tidak berhenti tersenyum. “ … ah, Jee Hee-ya.”

Aku meliriknya sebentar. “Apa ?”

Pria itu berdeham sejenak karena tenggorokannya sedikit kering. Dia mengusap-usap tangannya agar terasa hangat dan bergumam.

“Mungkin aku adalah pria yang paling beruntung karena memiliki wanita cantik seperti dia.”

Gigi atasku menggigit bagian bawah bibirku agak keras, menahan sakit yang ada di dalam hatiku. Sebenarnya aku tidak ingin dia bercerita tentang wanita itu, juga kesehariannya bersama orang yang paling dia cintai. Seakan aku ingin sekali mengalihkan pembicaraannya. Aku tidak tahan. Tapi, mana bisa aku melakukannya karena aku takut akan meredupkan raut wajahnya yang tampak bahagia.

“Dia sangat baik, pintar dan perhatian. Seiring dengan berjalannya waktu baru kusadari, kalau dia benar-benar penting dalam hidupku.”

“Oh, itu bagus.” Jawabku seadanya meski batinku merasa jengkel. Ingin rasanya aku pergi sejauh mungkin darinya. Tapi apa daya, hujan deras seperti ini menghambat jalan pikiranku. Aku mendelik gusar, namun selang berapa menit aku menoleh ke arahnya dan menggembungkan sebelah pipiku. Alisku terpaut dan aku seperti bersiap-siap untuk mencurahkan semua yang ada di hatiku. Setelah bertahun-tahun aku menunggu dan sekarang juga aku ingin mengatakan ‘Tapi, aku rasa aku menyukaimu.’.

 

Namun ternyata, apa yang kuucapkan tidak seperti yang kuinginkan…

 

“Youngbae-ah, aku penasaran seperti apa wanita itu. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Jadi, bisakah kau meneleponnya untukku ?”

 

Aigo, Jee Hee-ya ! Kenapa kau begitu bodoh ? Mengatakan hal itu saja kau tidak bisa. Lalu, bagaimana dengan responnya ? Entah mengapa kedua pipiku berubah merah dan aku memalingkan wajahku darinya. Padahal di dalam hati aku bertanya-tanya apakah dia benar-benar akan meneleponnya ? Sebenarnya aku ingin berkata bahwa aku hanya bercanda. Tapi, ya sudahlah. Aku harap batere ponselnya low, atau rusak, atau ponselnya yang rusak, dan atau-atau yang lainnya.

Pria itu menatapku bingung, kemudian mengangkat bahu lalu mencari-cari ponsel di saku celananya. “Baik. Kalau itu maumu, aku akan meneleponnya.”

Nah, mati kau, Jee Hee. Sekali lagi aku mengumpat dalam hati. Aku rasa organku yang satu itu—sebut saja hatiku—berada dalam bahaya, seperti akan dilempari seribu tombak kemudian menciptakan beberapa lubang besar disana. Tenggorokanku agak kering namun sulit sekali aku menelan air liurku sendiri. Jari-jariku bergelut sementara dirinya bersiap-siap akan menelepon wanita itu. Bahkan, aku tidak memikirkan apa yang harus aku bicarakan pada kekasihnya itu.

Di sela-sela pikiranku yang sudah serba kalut dan tak tahu harus bagaimana lagi untuk merubahnya, tiba-tiba aku mendapat panggilan dari benda kesayanganku. Kemudian aku segera merogoh isi tasku dan mengambil ponsel. Alisku terangkat saat menemukan nomor tak dikenal di layarnya.

“Tunggu sebentar, ya.” Kataku pada Youngbae tanpa harus menatapnya. Dengan sekali tarikan napas aku menekan tombol answer.

 

Yeoboseyo…?”

 

“…”

 

“…yeoboseyo ?”

 

“…”

 

“Halo ? Siapa disana ?”

 

“…”

 

Aneh, aku tidak mendengar apa-apa. Hanya suara berisik yang menjadi latar belakangnya. Aku menunggu, menunggu sampai suara orang itu terdengar. Tapi, aku pikir indera pendengaranku sama sekali tidak menangkap apapun. Dasar, mungkin orang iseng, kataku dalam hati. Karena aku bosan, aku mendesah pelan dan menyelipkan tanganku di saku celana.

“Akan kututup teleponnya.”

 

 

Saranghae…”

 

 

Sebelum aku menutup panggilan, akhirnya aku mendengar sesuatu.

“Apa ?”

Saranghae…” Sahut orang itu untuk kali keduanya. Seakan aku mengenal suaranya yang terdengar cukup familiar itu. Lalu, kudapati jantungku serasa berhenti berdenyut. Aku menahan napas seraya berbalik, membulatkan mataku ke arah pria itu, hingga apa yang terpendam dalam hatiku selama dua tahun itu terungkap jelas dimatanya. Posisinya berdiri sama persis denganku. Dia juga menempelkan ponsel di telinga kanannya dan mencoba menggumamkannya lagi.

 

Saranghae, Jee Hee-ya…” Dia berucap dengan suaranya yang lembut. Sebanyak tiga kali dia mengungkapkan perasaannya dan aku baru sadar jika itu untukku. Entah aku harus mengekspresikan diriku seperti apa. Rasanya jantungku benar-benar ingin meledak dan memancarkan luapan arti kebahagiaan.

 

Jadi, wanita itu adalah…

 

Secepat mungkin aku menutup panggilan, menatapnya dalam dan penuh arti. Namun dia belum menghentikan aktivitasnya menempelkan ponsel di telinganya. Sampai akhirnya butiran air yang hangat jatuh dari kelopak dan membasahi pipiku. Aku menangis, bukan karena sedih namun aku bahagia. Dia mempelihatkan senyumnya lagi lalu memelukku. Aku menangis sejadinya di dalam pelukannya. Aku merasa sedang bermimpi karena baru kali ini dia mendekap tubuh mungilku. Lalu dia mengusap-usap punggungku pelan.

“Berhentilah menangis…” ucapnya lembut.

 

 

Awalnya aku berpikir bahwa tidak akan pernah sekalipun mendapatkan pernyataan cinta dari seseorang yang sudah kutunggu setelah sekian lama. Lagipula, aku sudah terlanjur mendapatkan goresan luka mendapati dirinya bersama orang lain. Sudah cukup bagiku untuk mengenalnya dan menganggapnya teman, seolah aku sudah tidak bisa menggapai asaku agar dia selamanya bersamaku.

Namun, karena sikap buruk sangkaku yang menyeruak terlebih dahulu membuatku dibutakan oleh kecemburuan. Aku pikir semua itu fakta. Tapi ternyata tidak, goresan luka itulah yang membuatnya menjadi luka manis dan tiada lagi senyum pahit setelah aku menerima kenyataan bahwa dia juga mencintaiku, bukan orang lain.

 

Ya, aku sudah tidak ragu lagi…

 

Aku juga mencintaimu, Dong Youngbae…

 

 

“Jadi sekarang, kau tahu kan siapa wanita yang aku cintai ?”

 

“Iya, aku tahu…”

 

 

Yeah ! Akhirnya desas-desus mengenai aku sudah punya kekasih telah terungkap… ”

“Kekasihmu ? Siapa …?”

Aigo, betapa polosnya dirimu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang bernama Shin Jee Hee ?”

“Hei… aku belum menerimamu, pabo.”

“Tapi, sudah kupastikan kau akan menerimaku. Benar, kan ?”

 

 

Because you’re one and only in my heart…

 

Neomu saranghae…

 

-FIN-

 

Selesaaiii~ maaf jika alur kecepetan, feel nggak dapet dan banyak typo. Tapi, kritik dan saran sungguh diharapkan. Jadi, aku tunggu komentar dari kaliaaan~ pai paii ^^ *ngilang*