The Eyes

Read this if you curious!

.

.

.

2013 © Atikpiece

Previously

[TEASER]

.

.

.

-Prologue-

 

Liberation

Tiada lagi yang bisa anak itu lakukan, selain menjejakkan kakinya melewati jalanan kota yang ramai akan hiruk pikuk alat transportasi beserta manusia satu dengan yang lainnya. Pikirannya sudah sebisu bayangan, menyusul tatapan sayunya yang terarah ke depan. Helaan napas itu terdengar berulang kali, mendukung buah bibirnya yang kian memucat akibat oksigen minim di dalam paru-parunya. Menguar begitu saja usai berlari membawa tubuhnya menjauh dari pusat di mana berakhirnya masa pertahanan itu terjadi.

Beruntung tubuh dan kakinya masih sanggup berdiri dan berjalan, akan tetapi di dalam dirinya, seperti tidak merasakan apapun layaknya seseorang kehilangan separuh nyawa dari dalam tubuhnya. Kosong, hampa, keduanya menyatu, berbanding terbalik dengan suasana di sekitar yang kelihatan amat menyenangkan menjelang liburan musim panas.

Ia tidak merasakan hal itu. Semuanya, sama sekali, seumur hidupnya. Menghabiskan waktu hanya untuk bersedekap di ruang yang sarat akan cahaya, menunggu para kawanan mendekatinya, menampar, melucuti, menciptakan banyak luka sayatan di kulit putih pucatnya, tiada ampun. Tanpa menghiraukan pekikan bahkan guratan menyakitkan di wajahnya, tidak sedikitpun.

Hingga indera perabanya seperti tidak dapat merasakan sentuhan lagi layaknya manusia normal. Mengenaskan.

Ia takut, bingung, gelisah.

Tak tahu lagi ke mana langkah ini akan terus berpijak.

Sampai sang waktu mengakhirinya.

.

.

“Pergilah, Chae!”

.

.

Tiba-tiba ia pun kembali merasakan gelombang, hingga menimbulkan getaran kuat di kepalanya. Tidak ada yang lain, cuma getaran itu, lagi dan lagi. Terdengar memerintah, namun tersirat pula nada takut, seakan tak mau dirinya dicekal lagi oleh para pemicu kehidupan kelamnya.

Ingin mengenyahkan, namun justru getaran itulah yang bisa membuatnya memaksakan diri untuk membuka lembaran lama di masa lalu.

Derapan kaki saling mengejar satu sama lain terdengar sayup dari kejauhan, mendekati kedua raga yang sudah kehabisan udara karena berusaha melarikan diri dari para kawanan penghancur. Keduanya sejenak mengatur napas, sementara  di antara mereka terdapat kedua jalan yang terpisah.

Sunyi senyap pun menyerbu, akan tetapi, cuma anak itulah yang berpikir dengan apa mereka bisa pergi dari sini.

Namun seutuhnya pun seketika gagal, bermula ketika pemikirannya bertolak belakang dengan apa yang berada di kepala si lelaki di sampingnya.

Tidak, tidak. Ini belum aman.

 Aku harus menyuruh anak ini lari terlebih dulu, tanpa aku.

 Kedua alisnya mengernyit. hampir menyatu dengan sempurna, sedangkan darahnya pun ikut mendesir. Menyakitkan rasanya ia memahami kalimat itu, dan tidak dapat berhenti berharap semoga lelaki ini berubah pikiran dan mau pergi bersamanya.

Namun tak ada perubahan, masih sama seperti sedia kala.

Tiba-tiba suara langkah kaki para awak itu hampir mendekati mereka, sementara si lelaki menghela napas panjang kemudian cepat-cepat menatap kedua manik mata anak perempuan itu dalam, lalu menggenggam erat kedua lengannya.

“Kau mengerti apa yang kumaksud, kan?”

Anak itu mengangguk pelan, namun di dalam hatinya ia sungguh ingin menolak. Bibir mungilnya pun bergetar seiring dengan bola matanya yang membulat tertutup oleh butiran air mata. Kemudian jatuh bersamaan dengan gelengan kepalanya yang lambat laun makin menjadi. Lelaki itu tahu jika anak ini benar-benar tidak ingin meninggalkannya, lantaran akan sangat berbahaya kalau saja ia harus pergi sendirian tanpa pengawasannya.

“Tapi kau harus pergi, Chae. Demi keselamatanmu!”

“A—aku tidak mau… Aku tidak mau sendiri…” jawabnya seraya terisak.

“Lalu bagaimana kau bisa selamat jika kau sendiri tidak mau lari??” teriakan lelaki itu semakin menguasai lingkup pendengarannya.

“Ta—tapi…”

Sekali lagi si lelaki membuang napas. “Tidak usah kaupikirkan aku. Aku akan baik-baik saja, Chae.”

Dengan nada bicara seperti itu tentu saja membuatnya menjadi tidak yakin. Apalagi melihat iris cokelat si lelaki yang juga menyiratkan sedikit keraguan. Tetapi ketika ia mulai menatap kedua matanya dalam, terbesit kalimat yang jauh berbeda dari pemikirannya kala itu.

Aku pasti akan selamat. Percayalah padaku.

 

DUAR!

 

“Hei, mereka berada di sana! Ayo cepat tangkap!”

Lelaki itu terbelalak, dan seraya menahan napas, ia pun bergegas mendorong tubuh anak itu supaya menjauh darinya. Sementara tubuh si anak agak limbung dan hampir terjatuh ke tanah dengan jarak kurang dari satu meter dari lelaki itu. Kemudian ia memutar kepalanya seraya berdiri, menatap was-was ke arah si lelaki yang terus berteriak supaya dirinya cepat pergi.

Namun tidak berhasil. Malah, ia hanya berjalan mundur perlahan dengan tubuh gemetaran disertai linangan air mata yang tak kunjung berhenti membasahi pipinya. Perasaan takut pun semakin berkecamuk di hatinya lantaran suara-suara lantang itu saling menyahut, menambah kengerian kala langkahnya semakin menjauh.

 

SRAAK!

 

“Argh!”

Tertangkap. Lelaki itu tertangkap, disertai lehernya yang tercekik sebab dililit oleh lengan kekar algojo di belakangnya. Ia mendekap tubuh si lelaki erat sampai tak dapat dilepas meski telah meronta. Sementara beberapa kawanan lain, mencari-cari anak perempuan itu sampai mereka menemukannya di detik itu juga. Agak jauh dari lingkup pandangannya.

Anak itu masih berjalan mundur, namun sayang, tatapannya kosong.

“Jangan sentuh anak itu!” Lelaki itu memekik tiba-tiba, akan tetapi algojo itu buru-buru mencekik lehernya lagi.

Sampai ucapannya pun hanya ditanggapi oleh senyum menyeringai dari lawan bicaranya.

“Tangkap dia!”

Kemudian suara-suara langkah kaki terdengar kembali menghampiri anak itu.

Oh, tidak!

“Yak! Cepatlah pergi, Chae!”

Seperti tersadar dari teriakan si lelaki, mata anak itu pun terbelalak lebar di saat mereka semakin mendekat ke arahnya. Namun ia tidak sepenuhnya sadar, seakan masih terbelenggu oleh pemikiran kosongnya. Dan di saat itu pula tiba-tiba saja tubuhnya jadi membeku, kaku, tidak bisa bergerak, entah mengapa.

“Lari, Chae! Lari!!”

Teriakan memerintah itu terus menelusup ke gendang telinganya. Tetapi ia tidak bisa. Alih-alih berlari, menggerakkan tangannya sendiri saja rasanya sulit.

 

Tidak… tidak…

 

.

“Kau tidak akan bisa lari dari kami, bocah kecil!”

.

 

Tidak…

 

Aku… harus…

 

.

“Yak! Ada apa denganmu, Chae!? Cepat pergi!!”

.

 

Pergi…

 

Pergi… Lari…

 

Aku harus lari…

 

Aku harus lari! Aku harus lari!

 

 

Harus…

 

Anak itu kemudian mendekap tubuhnya kuat-kuat, berusaha untuk mengenyahkan getaran yang terus menggerayangi otaknya hingga kini. Angin semilir yang berhembus melewati celah rambutnya yang berantakan, sama sekali tak dapat membantu. Malah, kepalanya semakin terasa pusing, dan pergerakannya pun menjadi tidak seimbang sehingga tertangkap jelas oleh sepasang mata sebagian orang-orang yang tengah melewatinya.

Sejak awal, ia sudah mengerti betapa rencana si lelaki—yang ia tinggalkan tempo hari—benar-benar yang terburuk. Tiap jam, menit, detik, ia harus selalu melarikan diri dari kejaran para kawanan yang akan muncul tiba-tiba, baik dari kejauhan maupun di depan matanya sekaligus hingga disangka buronan. Ditambah ia juga tak punya senjata, bahkan pelindung.

Ia sudah lelah.

Dan lagi-lagi ia menangis.

Kesanggupannya runtuh, sebab menjalani alur kehidupan yang sama sekali tak dapat dinikmatinya.

Situasinya memang sudah tak aman sekarang.

.

.

Aku harap aku bisa menyudahi semua ini…

Aku harap mereka semua sudah cukup mengejarku lagi…

Aku ingin bisa bertemu Ayah dan Ibu…

Aku ingin bisa menemukan seseorang untuk selalu berada di sisiku…

Kuharap aku dapat menemukan sesosok penjaga…

Kuharap—

BRUK!

Tanpa ia sadari, tubuhnya pun menabrak punggung seseorang. Cukup sakit untuk dahinya, namun ketika orang itu berbalik, kedua mata mereka pun saling bertemu, meski mata si anak masih terdapat banyak sisa cairan bening. Menelisik satu sama lain meski hanya lewat indera penglihatan.

Tetapi, pada saat yang sama, bukannya terperanjat bingung menatap wajah si anak penuh dengan air mata, orang itu malah sedikit membungkukkan badannya, lalu berkata,

“Maaf.”

Kemudian pergi.

Tanpa berucap lagi, dengan raut tanpa ekspresi.

Aneh.

Bukankah seharusnya anak itu yang semestinya meminta maaf karena menabrak punggungnya? Akan tetapi kenapa malah sebaliknya?

Anak itu cuma diam, tak bergeming seraya tidak melepaskan pandangan seincipun dari sosok—yang ia tabrak tadi—yang ternyata seorang pria. Menatap punggung tegapnya yang makin lama akan segera menghilang ditelan oleh lautan manusia.

Ia menemukan sesuatu. Secara tiba-tiba. Entahlah, ia masih belum bisa memahami apa yang ia temukan, walau sedikit. Dalam hati ia bertanya, sampai arah matanya tertuju pada kepala pria itu. Sedikit menerawang, ia mendapati semacam perasaan yang tak pernah ia rasakan semenjak berada jauh dari keramaian seperti saat ini. Meskipun cuma segelintir.

Masih tetap dengan tatapan menerawangnya, ia agak menundukkan kepala, hingga pria itu sudah benar-benar raib dari penglihatannya.

Jawaban harapannya, ia akan tahu, perlahan namun pasti.

.

.

“Aku… selamat.”

.

.

to be continued – The Eyes [1st]

 

A/N : Anyway, ada yang menunggu kelanjutan fic ini? :3 *nggak ada   *ditendang T^T

Well, sebenarnya saya berencana buat nggak pake prologue aneh kayak begini dan niatnya kepengen langsung ke chapter 1 supaya nggak kelamaan -_- Tapi, karena chapter 1-nya baru 75% Done,  akhirnya saya bikin prolog-nya ^^ bagaimana? Alur dan tata bahasanya masih berantakan, bukan? .__.

Komentar, kritik dan saran sangat diharapkan, biar untuk ke depannya saya bisa menulis lebih baik lagi ^^ So, leave your comment!

Terima kasih banyak sudah membaca 😀