1 BLACK BLACK

Author : chanyb

Title : Black [1 – Be My Girlfriend]

Casts : LEE SEUNG HYUN / SEUNG RI — KWON JI YONG — SONG SEO RA — KIM JIN WOO

Genre/rate/lenght : Romance etc/NC-17/chaptered

Disclaimer : Tokoh selain OC adalah milik mereka pribadi serta Tuhan YME, sementara judul ff diambil dari judul lagu GD :*

Untuk siapa pun yang masih ingat dengan ff yang entah udah berapa tahun ditelantarkan, sori dori stoberi akika baru lanjut sekarang dan mengubah isi keseluruhan cerita. NB : Abaikan teaser yang sempat beredar secara ilegal :v

Summary : Seung Ri akan melakukan apa pun untuk membahagiakan Seo Ra selagi Ji Yong berusaha mati-matian menghindari wanita itu. Sementara Jin Woo terkadang menguntit Seo Ra demi memastikan wanita yang ia suka baik-baik saja.

DAN SPESIAL UNTUK KIMSKIMI AKA TIKA untuk poster yang luar biasa ini :3

===== BLACK =====

“Berhenti bertingkah seperti seorang pelacur di hadapannya…, kencanlah denganku!” Adalah kalimat terakhir yang Seung Ri ucapkan sebelum menarik lawan bicara ke dalam pelukannya. Dengan lembut ia mengelus rambut ikal wanita yang masih terisak dan justru semakin pecah setelah mendengar ucapannya barusan. Ia mulai berbisik, kedengaran amat putus asa bahkan untuk telinganya sendiri. “Gunakanlah aku….” Menarik napas panjang kemudian. “Gunakanlah aku untuk mendapatkannya, bisa?”

Bodoh? Tolol? Otak udang? Tenang, Seung Ri sudah terlampau akrab dengan kata sifat yang biasa dialamatkan padanya—baik dari teman maupun keluarganya tercinta. Dan ia tidak merasa keberatan samasekali karena kenyataannya memang benar begitu. Terkadang ia akan tertawa sambil berkelakar bahwa otaknya masih tersimpan rapi di lemari atau otaknya berpindah ke lutut dan terakhir kabur ke telapak kaki, sebagai respons. Memang apa salahnya menghibur sekaligus menawarkan bantuan kepada orang yang tengah bersedih apalagi sekarang orang itu adalah temannya sejak kecil.

Jangan salahkan sifat penolong yang secara alami semakin berkembang semenjak Seung Ri menjadi seorang host dua setengah tahun belakangan. Kasarnya, dia pria penghibur sialan yang dicintai setiap pelanggan. Percaya tidak percaya, ia akan membawa pelangi dan bunga warna-warni ke dalam kehidupan klien-klien berduit asal mereka bahagia di sisinya. Bagaimanapun tujuan hidup Seung Ri sedari dulu ialah membahagiakan hati setiap wanita. Tua ataupun muda. Mau dia peyot sekali pun asal jenis kelaminnya tak sama akan ia ladeni.

Imbalan atas kebaikannya? Jawabannya, tentu saja hidup sangat berkecukupan. Namun di sisi lain, ia diperlakukan bak penjahat perang oleh orangtuanya. bukan cuma itu, ia bahkan dihapus dari silsilah keluarga.  Dulu, Seung Ri memang sempat makan hati setiap berpapasan dengan anggota keluarganya. Mereka cepat-cepat membuang muka sambil meludah. Maksud mereka apa coba? Memperlakukan mantan keluarga layaknya virus flu burung yang kawin silang dengan flu babi?

Kini, Seung Ri samasekali tidak keberatan akan hal itu. Sebab, Seung Ri mempunyai segalanya tanpa harus memanfaatkan kekuasaan keluarga Lee. Jadi, mau mereka membuang muka sambil kayang dan leher memutar pun Seung Ri tak peduli.

Setidaknya, sampai detik ini, Seung Ri masih bisa memeluk Seo Ra penuh kasih di tengah hiruk-pikuk kelab malam terkenal. Menenangkan si wanita patah hati yang biasanya ia panggil ‘Seo Ra sayang’ atau ‘nak’. Walau ia sungguh kecewa mengetahui bahwa sahabatnya tersebut lebih memilih jatuh di pelukan Ji Yong. Pria berperangai kasar serta bertingkah semaunya. Setahu Seung Ri, Ji Yong siap menghancurkan lawan kapan pun dia mau tanpa harus mengotori tangannya sendiri.

“Sssttt… aku akan mengantarmu pulang sekarang.” Seung Ri melepas pelukan mereka dan beralih menggandeng pergelangan tangan Seo Ra, hati-hati menuntun wanita itu keluar dari sesaknya kumpulan manusia di lantai dansa.

“Ri, a ak….”

“Mau kuantar pulang atau kita berakhir di ranjang motel?”

“Yak, Lee Seung Hyun!”

Seung Ri segera berpaling menghadap Seo Ra begitu mereka telah berada di luar, tersenyum sekilas selagi kedua jempolnya menyeka air mata yang masih menggenangi pipi wanita itu. Seung Ri pun mulai bersuara, “Begini lebih baik. Cantik.” Dia jujur sewaktu mengatakan cantik, meski mata dan bibir Seo Ra sedang membengkak.

Pria bersetelan rapi itu masih bisa menoleransi bila cuma mata temannya saja yang dibikin bengkak, tetapi tidak dengan… ah, sudahlah jika dilanjutkan lagi, bisa-bisa ia membegal seluruh kliennya. Ia tak sanggup berpikiran jernih saat melihat Seo Ra beberapa waktu lalu dalam keadaan semrawut menatap nanar dirinya—yang tengah menemani tamunya berdansa—kata pelacur pun meluncur deras dari mulut Seung Ri bahkan sebelum makian kasar itu terlintas dalam benaknya.

Ia hanya terlampau syok dengan pertanyaan yang terus menggema dalam otaknya, bagaimana bisa… bagaimana bisa Seo Ra menyerahkan ciuman pertamanya kepada pria sialan itu, bukankah aku… aku telah mendedikasikan seluruh masa remajaku untuknya?

Nuna?”

Seung Ri spontan menoleh ke asal suara, mendapati siswa SMA yang masih berseragam lengkap tengah menatap penuh minat pada Seo Ra.

“Nak, kau membuat temanku risih.”

“Astaga, nuna habis menangis? Apa pria ini yang membuatmu menangis?”

Sontak, Seung Ri merasa telinga maupun matanya dibuat iritasi parah akibat kehadiran anak SMA yang tahu-tahu muncul entah darimana. Bukan cuma mengabaikan ucapannya, tetapi dia juga berani menyentuh pundak Seo Ra sok akrab. Dia bahkan merangsek masuk di antara Seung Ri dan Seo Ra. “Anak kecil seharusnya tidak berkeliaran tengah malam begini, main pegang-pegang wanita orang pula.”

Siswa berkulit pucat itu melirik Seung Ri sekilas seraya berujar, “Sejak kapan nuna ini jadi milikmu.” Kemudian tersenyum kalem pada Seo Ra.

Selama ini Seung Ri paling benci jika dilawan anak kecil. Kebencian itu akan menuntunnya ke kosa kata galau. Galau dalam menentukan mana yang lebih baik antara penyedot wc atau vacuum cleaner. Guna menyedot semua pertanyaan bodoh nan menyebalkan dari mulut anak itu. “Anak ini benar-benar….”

“Ri, sudah. Dia teman adikku.”

Seung Ri hendak protes saat sepasang mata merah milik wanita bertubuh mungil memelotinya. Masih dengan ekspresi angker dia kembali melempar tatapan dingin pada anak yang lagi-lagi hanya meliriknya sekilas lalu beralih menatap Seo Ra. Raut datar anak itu dalam tempo sepersekian detik, berubah menjadi cerah ceria dengan senyum merekah dari ujung ke ujung. Memperlihatkan lesung pipinya.

Sialan! Minta dikarungin nih anak.

Nuna baik-baik saja, kan? Tidak ada yang luka, kan? Nuna pasti lapar, mau makan ap….”

“Kim Jin Woo, cukup. Berhenti mengekoriku, cepat pulang sana!” “Tapi….” “Jangan membantah!” Perlahan-lahan Seung Ri mengamati ekspresi ceria dari siswa SMA, berubah drastis. Mata besar yang tadi seolah minta dicolok pakai sepatu kini kelihatan kecewa sekaligus penuh harap. Hebatnya lagi, Jin Woo si anak SMA tak tahu adat itu mengurungkan niatnya untuk protes. Bibirnya segera terkatup rapat, berganti helaan napas panjang. Persis sesudah Seo Ra menitahnya untuk tidak membantah. “Pastikan kau benar-benar tiba di rumah.” Jin Woo mengangguk lemah sebelum melangkah gontai sambil sesekali menoleh ke belakang dan menghilang di tikungan. Meninggalkan Seung Ri yang sukses dibuat terbengong-bengong, menemukan betapa polos dan penurutnya anak itu. Sudah? Begitu saja? Semudah itu mengusirnya? “Ri!” “….” “Ri!” “Eh? Hah?… Ra, bukankah sebaiknya kita antar pulang saja si Jin Woo? Serius, dia seperti anak ayam kehilangan induk.” Selewat beberapa menit Seung Ri menyesali ucapannya. Jin Woo tidak sepolos yang ia kira. Bayangkan, anak itu bertindak sangat agresif sewaktu memonopoli sahabatnya, menarik Seo Ra duduk di kursi belakang. Lalu bermanja-manja Ria di sana selagi ia menyupir. Dan ingin sekali rasanya ia melempar diri bersama roda kemudi ke belakang. Menyupir di tengah-tengah mereka, memisahkan Seo Ra dari pemuda berdarah panas. Enak saja, mau dempet-dempetan begitu di depan mata pria dewasa siap kawin lagi jomblo. Kurangasam! Hah? Anak ayam? Cih! Anak ayam dengkulku!  

======= BLACK ======

Seo Ra tergila-gila pada Ji Yong, sedang Ji Yong nyaris dibuat gila karena ulah Seo Ra.

Demi apa pun….

Sebelum Wanita itu datang semuanya baik-baik saja. Hari-harinya berjalan damai. Walau damai dalam kamus pria berambut hitam itu belum tentu sama seperti kebanyakan orang normal. Bagi Ji Yong, dia dan bayangannya sendiri saja sudah cukup. Dia tidak butuh bayangan lain, terutama yang berisik. Tetapi wanita berparas cantik itu tiba-tiba datang merusak segalanya.

Dia memang cantik, tapi seujung kuku pun, Ji Yong tidak menyukai Seo Ra. Karena dia lebih menyukai ketenangan dibanding wanita yang setiap saat selalu mengoceh ngalar-ngidul. Dia benci diganggu, apalagi dipaksa mendengar suara berisik monoton milik wanita itu. Dan dia akan melakukan berbagai cara untuk menghindari Seo Ra.

Ji Yong pernah bilang, “Aku tidak menyukai wanita...”

Seo Ra malah bertanya tanpa menggunakan otak primitifnya untuk berpikir terlebih dahulu. “Apa sainganku seorang pria?”

“Ya, jadi sebaiknya kau….“

“Tentu, aku akan berusaha membuatmu berpaling darinya.”

Waktu itu, Ji Yong mengerang frustasi menemukan Seo Ra tertawa senang seraya mengibaskan sebelah tangan di depan wajahnya sendiri. “Tidak masalah bagiku.”

Karena ‘tidak’ itulah maka akan jadi masalah besar bagiku!

Sebenarnya, bukan salah Seo Ra sepenuhnya, pria tampan itulah yang memulai duluan. Dialah yang terlebih dahulu memikat hati wanita itu lewat senyum manis nan menggodanya beberapa tahun silam. Kira-kira ketika ia duduk di kelas satu SMA. Ketika itu suasana hati Ji Yong sangat buruk, orang-orang di sekolahnya berpikiran sembarangan tentang dia. Mereka melabelinya biang onar hanya karena ia tanpa sengaja mengirim beberapa siswa ke rumah sakit. Bukan Ji Yong yang salah, siswa–siswa dungu itu mengusik tidur siangnya, memukul keras wajah tampannya hingga gigi geraham kirinya terasa bergoyang. Lalu kejadian selanjutnya, Ji Yong ditarik paksa oleh guru olahraga bertubuh kekar. Ji Yong memberontak dan meraung marah menyaksikan guru-guru lain mengangkat salah seorang siswa yang terkapar dan memapah dua lainnya. Memperlakukan mereka dengan amat baik; wali kelas Ji Yong bahkan memercayai setiap kebohongan mereka tanpa keraguan. Sebaliknya, Ji Yong justru langsung dikenai sanksi skors selama sebulan.  Pilihan lain, jika enggan menerima skors ialah, ia mencari sekolah lain. Gila apa? Menyarankan siswa penerima beasiswa pindah sekolah demi menyelamatkan anak-anak sok berkuasa yang baru sekali sentuh langsung mental.

Ia kesal setengah mati selama perjalanan pulang. Demi Tuhan, wali kelasnya itu bahkan enggan mendengar pembelaan Ji Yong, berpura-pura buta padahal jelas-jelas wajahnya juga lebam kebiruan dengan bercak darah di sudut bibir serta hidung–yang mulai mengering. Tak perlu menjadi siswa pandai untuk mengerti mengapa guru di sana bersikap masa bodoh muka dua otak di pantat dan bermulut comberan.

Sebab, mereka merupakan anak-anak penyokong dana terbesar di sekolah, sedang Ji Yong bukan apa-apa. Cuma seorang anak terbuang yang hidup sebatang kara setelah kabur dari panti asuhan dan kerja serabutan demi menghidupi diri sendiri.

Jadi, begitu melihat ada seorang gadis diganggu berandalan-berandalan tengik. Secara otomatis ia segera bergerak maju, tanpa ampun menghajar lawan satu-persatu.

Ji Yong melakukan itu bukan untuk menjadi pahlawan si gadis, melainkan untuk melampiaskan amarahnya. Setelah puas menghajar, dengan ketenangan luar biasa ia mengambil dompet guna memberikan tiga lembar uang pecahan sepuluh ribu won hasil jerih payahnya. Menyuruh mereka bergegas pergi sembari berucap, “Itu sudah lebih dari cukup untuk ke apotek ataupun membeli soju…, rokok.”

Sementara pada gadis itu ia berkata, “Kau baik-baik saja, nona?” Senyum manis Ji Yong mendapat reaksi berupa sentuhan hati-hati di ujung kiri bibirnya yang pecah. “Aku baik, kau yang tidak baik-baik saja.”

Ucapan Seo Ra memang benar, lima tahun semenjak menyelamat gadis berambut ikal tersebut, kehidupan Ji Yong sangat tidak baik-baik saja. Terutama sebelum ia membanting pintu apartemen keras-keras, meninggalkan Seo Ra yang masih terisak akibat perilaku kasarnya. Selama ini ia sudah berhati-hati menjaga sikap di depan wanita itu. Akan tetapi, Seo Ra merupakan tipe orang yang bakalan enggan mengerti jika tidak dikasari. Percayalah, sekadar bersikap dingin sekaligus cuek tidaklah cukup untuk menghadapi orang yang masih terjebak di masa lalu.

Ya, Seo Ra masih terjebak di sana. Dia terus mencari-cari diri JI Yong yang dulu. Sosok pemberani nan baik hati. Dimana sosok tersebut hanyalah sisi palsu dari diri Ji Yong. Dirinya yang asli hanyalah pria bermasalah yang berteman baik dengan kekerasan dan kebencian.

“Kau kenal Kiko? Dia pacarku, Seo Ra. PA-CAR-KU! Apa maksudmu bertindak kekanak-kanakan tadi?” cecar Ji Yong dua jam lalu.

“Karena dia kelihatan seperti bukan wanita baik-baik.”

“Bukan wanita baik-baik kaubilang?”

“Benar. Aku sering melihatnya keluar masuk kelab malam bersama banyak pria dan aku rasa wanita itu akan membawa pengaruh buruk untukmu. Aku tahu kau ingin menjadi pria normal yang menyukai wanita. Tapi bisakah jangan wanita itu? Dia bisa saja….”

Sebelah tangan Ji Yong tahu-tahu terangkat, menginterupsi ucapan berapi-api Seo Ra. “Heh, lawakanmu lucu sekali. Apa sebaiknya aku tertawa saja sekarang? Serius, bagaimana bisa kau menyimpulkan bahwa pacarku wanita jalang yang sedang mempermainkan seorang pria gay?” Tersenyum miring dan perlahan-lahan melangkah maju mendekati lawan bicara. “Sebegitu inginnya kah kau menjadi pacarku? Atau sebegitu inginnya kah kau kutiduri, Seo Ra?”

Selagi ia melihat mimik ketakutan milik wanita bermata sipit di seberangnya, indera pendengar Ji Yong menangkap suara televisi di sudut ruangan yang agaknya tengah menayangkan sebuah drama picisan berkata, “Karena aku sayang kamu.”

“Aku hanya ingin bersamamu, Ji.” Seo Ra akhirnya menjawab suara wanita itu pecah di akhir kalimat seiring tersunggingnya seringai merendahkan di bibir Ji Yong. Pria berambut cepak itu hendak meraih dagu Seo Ra yang lantas membuat Seo Ra terduduk ke sofa, menjauhi jangkauan tangan Ji Yong, wajah cantiknya memucat. Rintik keringat pun mulai mengalir dari sudut dahi.

“Nah, kenapa kau menjauh? Padahal aku ingin mengabulkan keinginanmu. Asal kau tahu, aku tidak terlalu mengerti dengan kata-katamu barusan. Tapi, mungkin aku akan sedikit mengerti jika kita tidur bersama.” Hardik Ji Yong, menatap lurus-lurus sepasang manik coklat lawan bicara. Kedua tangannya bertumpu di sandaran sofa—mengurung Seo Ra. Perlahan-lahan ia menghapus jarak wajah mereka tetapi, suara televisi di belakangnya lagi-lagi mengusik telinga. Kali ini, tokoh perempuan dalam drama itu berteriak histeris, “Kau sudah berubah!”

Kontan, ia berpaling, memandang televisi itu dalam kilat amarah. Ingin menghajar habis-habisan layar televisi dengan kepalan tinju. Namun urung Ji Yong lakukan ketika Seo Ra mengatakan hal senada. “Kau… berbeda. Aku seperti tak mengenalmu.”

“Ji Yong sudah mati dikeroyok. Aku hantunya.”

“Ini tidak lucu. Kau mabuk. Lebih baik kita bicarakan lagi besok.”

“Kau benar. Aku sadar sepenuhnya. Dan aku ingin kita bicara sekarang. Di ranjangku tepatnya. Bagaimana?” Sudut bibir Ji Yong membentuk seringai memuakkan. “Jangan-jangan kau lebih senang kita bermain di sini?”

Ji Yong tentu main-main atas ucapan barusan. Dia cuma ingin menakut-nakuti Seo Ra, itu saja. Tapi reaksi yang ia dapat malah berbeda jauh dari bayangannya. Tanpa babibu telapak tangan wanita itu mendarat ke wajahnya dengan suara plak menyakitkan. Untuk sesaat ia terdiam merasakan telinga kiri lambat-lambat berdenging. Ketimbang rasa amarah, dia lebih merasakan perasaan terhina dan sedikit takjub menerima kenyataan. Itu baru sebatas ucapan disertai kontak mata yang intens. Dia belum melakukan lebih. Seperti berbicara tepat di telinga Seo Ra sambil mengapitkan surai-surai rambut wanita itu ke balik telinga lalu menyeka keringatnya menggunakan ujung jari. Sebagaimana yang biasa ia lakukan pada wanita-wanita sebelumnya.

“Demi hormon sialanku ini, apa kau tidak berlebihan?”

“Kau yang berlebihan!” Seo Ra mendorong tubuh Ji Yong sekuat tenaga. Berusaha berdiri tegap di atas kedua kaki gemetarnya selagi pria yang tadi memerangkapnya terhuyung ke belakang.

“Jangan bilang sekalipun kau belum pernah menggunakan jasa teman gigolomu itu. Siapa namanya, Seung….”

“Aku bukan wanita seperti itu!” “Tapi kau berurusan dengan dua orang pria seperti itu!” Wanita itu bungkam. Seo Ra  menggigiti bibir bawahnya keras-keras, alih-alih membantah apalagi balas meneriaki. Diam-diam mempelajari airmuka pria itu yang tampak murka sekaligus arogan di waktu bersamaan. “Kuharap kau menghilang saat aku kembali.” Dan jangan pernah muncul lagi.

====== BLACK ======

Udah segini aja part 1 nya berhubung baru sembuh dr wb sewaktu denger abang” tamvan mau kambek dan yg ke-2 tergantung respon kalian loh ya… (o.o)v seperti yang saia bilang kalo saia mengubah isi keseluruhan cerita karena yang kemarin, entahlah… saia gak sanggup bikin incest 😀