1 BLACKPoster By : kimskimi

BLACK

Author : chanyb @tottochandri

Title : Black [2 – I’m Bad, But Good Enough]

Casts : LEE SEUNG HYUN / SEUNG RI — KWON JI YONG — SONG SEO RA — KIM JIN WOO

Genre/rate/lenght : Romance, comedy, friendship, etc/NC-17/chaptered

Disclaimer : Tokoh selain OC adalah milik mereka pribadi serta Tuhan YME, sementara judul ff diambil dari judul lagu GD :*

Warning : Konten di dalam cerita mengandung kata-kata kasar tanpa diayak apalagi di pure it yang telah teruji di laboraturium ITB dan IPB, jadi kepada pembaca dan adik-adik sekalian diharap untuk bijak dalam menanggapi ff ini, oke cintaaah?

© 2015

 

====== BLACK ======

 

Ji Yong terbangun dengan jantung berdegup terlalu kencang dan perut keroncongan. Sebuah truk gandeng membunyikan klakson beruntun sepanjang melewati badan jalan. Bunyi jelek itu sangat menyakiti indera pendengar Ji Yong, dan menyentak tidur nyenyaknya. Rasa nyeri disertai kaku pun menyerang sekujur tubuh gara-gara tidur di kursi pengemudi. Ketika membuka mata dia refleks menoleh ke jendela. Kemudian mengerang kesal mendapati matahari mengarah langsung ke wajahnya. Titik cahaya terang yang menyorot tanpa ampun tersebut seolah ikut-ikutan menyiksa diri Ji Yong pagi ini. Untuk sejenak, Ji Yong bertahan di posisinya dengan tangan menghalangi penglihatan.

Setelah terbiasa, ia keluar dari mustang kumbangnya seraya menyulut sebatang rokok rasa menthol. Menduduki kap mobil sampai rokok ketiganya mengecil dan berserakan di pinggir jalan. Selama itu pula, dia hanya duduk-duduk bengong menikmati sengatan matahari. Embusan angin beraroma garam yang membelai wajah tanpa disadari telah merekahkan senyum tulus Ji Yong. Di samping itu, suasana di sekitarnya masih tergolong lengang Cuma ada dia, bayangan, debur ombak yang terkadang beradu bersama deru kendaraan bermotor.

Ketenangan yang melingkupi Ji Yong tak sampai satu jam. Lantaran pelototan seorang tukang sapu yang agaknya sebal terhadap serakan puntung rokok. Tanpa merasa bersalah, dia balas melotot. Pelototan Ji Yong seolah menyampaikan pertanyaan: bukankah tugasmu adalah menyapu segala jenis sampah?

Dia benar, kan? Jadi, jika dia juga dianggap sampah, yah, tak perlu memelototinya segala! Langsung saja sapu Ji Yong sekalian. Ji Yong tak keberatan asal dia diperbolehkan menyapu wajah petak menyebalkan itu menggunakan tinjunya. Kebetulan, Ji Yong sedang lapar dan ingin menghajar seseorang. Di samping itu, ia risih dipelototi begitu.

Dia menyingsingkan lengan jaket kulit sebatas siku sebelum mengkeretakkan satu persatu jari-jemari. Selang semenit, ia turun, membuang puntung rokok terakhir dan bergegas masuk kembali ke dalam mobil. Sengatan matahari pagi mulai membakar kulitnya dan sebagai pria yang lebih menyukai gelapnya malam, Ji Yong sangat membencinya. Melebihi itu, kedua bola mata Ji Yong serasa mau melumer gegara pria kekar berotot tak jauh darinya itu tahu-tahu mengedipkan sebelah mata. Entah Ji Yong salah lihat atau apa, yang pasti sehabis menerima gestur menyimpang tersebut dia mengaalami keadaan linglung. Merasakan keringat dingin mulai mengalir ke punggungnya saat menyalakan mesin.

Dia bisa melawan siapa pun kecuali banci atau gay. Bisa dibilang satu-satunya hal yang tak bisa dia hajar adalah kedua makhluk jadi-jadian itu. Benar. Makhluk belok yang hidup di antara dua dunia itu bukanlah tandingan Ji Yong.

Kenapa? Karena dia mempunyai semacam trauma terhadap mereka.

Dulu teman Ji Yong pernah menjual dirinya bak kacang goreng kepada om-om bertampang maskulin. Kala itu ia masih polos imut-imut, tipikal-tipikal anak yang gampang ditipu. Ji Yong pikir pria berdasi itu berniat mengadopsi atau semacamnya. Maka tanpa rasa curiga, ia mau-mau saja diajak berkendara sesudah dibelikan eskrim vanila betabur chocochip. Dia bahkan melambaikan tangan mendengar temannya berkata, “Aku tidak bisa ikut, ada janji. Kau bersenang-senanglah!”

Coba pikir, bagaimana mungkin dia bisa bersenang-senang jika si pria tampan-tampan laknat itu tiba-tiba menjilati sisa eskrim di tepi bibirnya. Menatapnya penuh hasrat. Dari sudut pandang mana kesenangan itu terdapat? Yang ada, Ji Yong lari tunggang langgang dengan napas tercecer di sepanjang jalan. Dan setibanya di panti, untuk kali pertama, dia gelap mata. Ji Yong nyaris mengirim teman biadabnya menghadap Tuhan lebih cepat. Mulutnya meracaukan kalimat-kalimat yang belum pernah ia lontarkan, “Aku menganggapmu teman, bangsat!…aku memercayaimu selama ini! Mati saja kau, takkan ada yang berduka!”

Terhitung sejak hari itu, Ji Yong pelan-pelan melepaskan citra anak manis penurut. Mencurigai setiap orang yang berusaha mendekatinya kurang dari semeter. Kemudian, secara bertahap mengabdikan diri hanya untuk melakukan segala jenis aktivitas ‘lelaki’ mulai dari mengikuti olahraga beladiri cabang taekwondo dan tinju hingga menjadi idola gadis-gadis setiap memasukkan bola ke ring basket. Berbagai pola tato pun memenuhi satu-persatu bagian tubuhnya, setelah lulus SMP. Masa-masa kelam Ji Yong tak berhenti sampai di situ. Kejadian ketika ia kabur dari panti asuhan mungkin lebih mengerikan. Malam itu, setelah berjalan jauh seharian tanpa disadari ia bersandar ke tiang lampu di depan sebuah kelab malam. Kelab yang seluruh pelayannya merupakan wanita batangan kekar berotot.

“Godain kita dong kakak.” Ji Yong kaget bukan main mendengar suara bariton terlepas dari wanita cantik yang tahu-tahu menepuk pundaknya.

Dan adegan tak wajar lima belas menit lalu, mau tak mau menuntun perasaan kesal bercampur ngeri bentrok dengan pikiran rasionalnya. Memaksa Ji Yong untuk berpikir bahwa dalam pakaian serba hitam–serba kulit–serta tato-tato yang tampak jelas, tak lantas membebaskan ia dari godaan pria. Harus diakui bila bentuk wajah oval yang mengesankan dan nyaris tanpa cela milik Ji Yong selalu memesona saat matanya berkilat penuh semangat. Belum lagi kulit putih mulus yang paling diinginkan wanita, makin menggodalah diri Ji Yong. Singkatnya, Kwon Ji Yong ialah pria tampan dengan cara yang halus.

Di detik berikutnya, telapak tangan Ji Yong yang panas dan licin memukul gemas roda kemudi. Mulai menyalahkan Seo Ra. Kalau bukan karena wanita itu, dua malam belakangan ia pasti sudah tidur dengan nyaman di apartemen. Tidak perlu tidur di mobil keluaran tahun 1970 miliknya demi menggembel disudut-sudut kota. Entah mengapa, apa pun yang Seo Ra lakukan dan katakan, benar-benar menyebabkan suasana hati Ji Yong memburuk. Tubuhnya pun linu berkepanjangan. Begini, dua malam lalu, tepatnya setelah terlibat pertengkaran bersama Ji Yong. Bukannya langsung pulang ke rumah, wanita yang mengaku ingin bersamanya tersebut justru jatuh ke pelukan Seung Ri. Dia melihatnya sendiri. Baiklah, Ji Yong mengaku dia mengikuti Seo Ra dari kejauhan. Bagaimanapun, dia bukanlah pria berengsek yang tega membiarkan wanita berjalan sendirian di tengah malam. Apalagi ada siswa SMA yang sebentar sebentar bersembunyi, terus membuntuti Seo Ra.

Ji Yong berencana memberitahu siswa itu secara baik-baik—untuk ukuran seorang pengganggu. Biasanya, Ji Yong akan mengawali perbincangannya dengan tonjokan keras yang biasanya mematahkan hidung lawan bicara. Lalu tendangan keras di ulu hati akan lekas menyusul. Sementara mematahkan kedua tangan atau kaki akan menjadi penutup perbincangan apabila orang yang ia beritahu tidak mau menurut. Tapi menyadari bahwa itu akan menyebabkan Seo Ra semakin jatuh cinta, maka pelajar itu bakalan menjadi pengecualian. Dia akan memberitahu lebih baik-baik lagi sehingga tidak diketahui. Maksud Ji Yong baik kunci roda ataupun sepatu berujung lancipnya siap melayang kapan pun ke wajah si penguntit jika berani macam-macam kepada Seo Ra.

Betapa mulia niat Ji Yong, kan? Berbanding terbalik dengan apa yang Seo Ra perbuat terhadapnya. Sepenglihatan Ji Yong, wanita itu berkencan bersama pria lain seusai menembak dirinya!

Seperti wanita murahan kebanyakan.

Kendati seujung kuku pun Ji Yong tidak menyukai Seo Ra, tetap saja rasanya pahit-pahit kecut bikin muntah. Sumpah, dia tidak cemburu! Cuma berang saja dan perasaan tersebut selalu berhasil membuat ia bertindak sembrono. Dia merasa bahwa harga dirinya yang setinggi langit telah terinjak-injak akibat mengkhawatirkan wanita yang begitu mudah berpaling. Sialnya lagi, pria yang membuat Seo Ra berpaling ialah Seung Ri, teman wanita itu sendiri. Gigolo pula. Dan apa yang ia lihat itu, mau tak mau memacu adrenalin untuk mengemudi sangat cepat. Faktanya, kecepatan mengemudi Ji Yong memang terlalu tinggi. Ia hendak menerobos lampu lalu lintas yang nyaris berubah. Tetapi sayangnya ia terlambat sepersekian detik sehingga ban mobilnya menjerit sewaktu berhenti mendadak.

Tolol!

Getaran berulang-ulang ponsel pintar di dasbor serta-merta menginterupsi lamunan Ji Yong. Ia melirik sekilas Begitu menemukan dua huruf XX tertera di layar, senyum sinis kontan terulas di bibir tipisnya.

Sesudah itu, Ji Yong lebih memilih berkonsentrasi ke badan jalan ketimbang menggubris si penelepon. Benda petak berwana metalik itu baru terjamah oleh sang pemilik saat mustang tipe Shelby GT 500, menepi di salah satu kafe dengan bunyi menggeram halus. Seringai puas terlihat semakin jelas sewaktu dia melangkah pelan memasuki kafe. Sepasang matanya juga tampak berkilat selama tertumbuk ke layar ponsel. Di sana terpampang…,

27 panggilan tak terjawab dari Seo Ra

10 panggilan tak terjawab dari Seung Hyun–senior sekaligus mahasiswa abadi di kampusnya. “Ini tidak penting.” gumamnya selagi mendudukkan diri ke salah satu kursi yang tersisa.

Terakhir, pesan bernada khawatir dari Seo Ra membanjiri kotak masuk pesannya.

Astaga! angkat teleponku kalau kau masih hidup, ganteng T^T

Sebelumnya…

Di kantor polisi mana?

Demi Tuhan, apa kau terlibat masalah?

Aku yang salah maafkan aku.

Pesan-pesan sebelumnya, juga memuat kata-kata seragam.

Maaf…

Ji, kau masih marah?

Ji, kau baik-baik saja, kan?

Kau belum pulang? Di mana?

Ada sarapan kesukaanmu.

Aku di depan apartemenmu.

“Maaf Tuan, apa ada yang bisa kubantu?” tanya seorang pelayan wanita, ia tersenyum ramah pada Ji Yong yang memasang wajah datar.

“Maksudku, apakah Anda mau memesan sesuatu?”

“Roti lapis dan secangkir kopi.”

“Itu saja?”

“Ya. Itu saja, cantik. Bisakah kau membawakannya untukku? Aku lapar.”

Selagi menunggu pesanan datang, jari-jemari Ji Yong mengetuk-ngetuk meja, seirama musik yang melantun dari pengeras suara. Sementara indera penglihatnya menyapu pemandangan luar yang memperlihatkan lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki.

Mengabaikan sepenuhnya seluruh pesan yang barusan iabaca.

======= BLACK ======

Lain Ji Yong, lain pula Seung Ri yang begitu bangun tidur langsung uring-uringan akibat ulah bodoh Seo Ra. Mulutnya sudah hampir berbusa mengingatkan wanita itu agar tidak mengunjungi Ji Yong dahulu. Sekali-kali, pria berperangai kasar itulah yang harus mengunjungi dia pertama kali! Minimal berinisiatif untuk menelepon atau mengirim pesan selamat pagi duluan. Tapi ini? Peran mereka benar-benar terbalik. Seo Ra malah menjadi pihak yang terus melempar umpan dan Ji Yong merupakan pihak yang terus jual mahal. Sinting!

Setahu, seingat otak bodohnya, prialah yang mestinya melancarkan rayuan bukan wanita. Persetan dengan ungkapan emansipasi wanita! Seung Ri akan berkata, “Oke, wajar.” Kalau sekali dua kali. Nah, kalau berkali-kali itu cari masalah namanya. Seo Ra akan dianggap gampangan, terobsesi, tak punya harga diri.

Pria bernama Ji Yong itu bakalan menganggap enteng dirinya. Maksud Seung Ri adalah tak peduli seberapa kasar, seberapa acuh tak acuhnya pria itu memperlakukan Seo Ra. Dia tidak usah repot-repot meminta maaf. Toh, wanita itu akan tetap berada di sisinya. Kasarnya, Seo Ra sudah berada dalam genggaman Ji Yong. Tetapi, Seo Ra seolah masa bodoh akan situasinya sekarang. Justru Seung Ri yang pegal hati melihatnya.

“Ra, aku sedang memohon padamu sayang.” Seung Ri beringsut dari ranjang, menapakkan kakinya ke lantai sesaat sembari mencerna tiap patah kata yang diutarakan wanita di ujung telepon.

Kerongkongannya terasa mengering setiap kali wanita di ujung telepon berucap, “Tidak bisa.” Helaan napas berat kian kentara ketika ia melangkah gontai menuju lemari pendingin.

“Apanya yang tidak bisa?… Oh! Begitukah? Baiklah, semerdeka kau saja, Ra.” Menenggak beberapa teguk air mineral selama menunggu lawan bicara menghentikan aktifitas yang menimbulkan bunyi tat tut sumbang. Bunyi yang selalu menjeda percakapan serius mereka di telepon.

“Ra, plis…. Berhenti mengirimi pria itu pesan selagi kau berbicara padaku.” Seung Ri tersenyum masam lantaran tawa mengolok, menyahuti perkataannya. “Aku serius. dan ya, aku cemburu. Jadi, datanglah padaku kalau kau berubah pikiran…, gratis kok.” Memutus sambungan telepon secara sepihak. Keengganan mendengar sanggahan Seo Ra, amat besar pagi ini. Kepalanya pening mendadak. Dikira enak apa menerima penolakan sadis saban hari? Asal Seo Ra tahu, sikap dingin dia terhadap Seung Ri hampir sama seperti Ji Yong memperlakukannya.

Selain itu, seseorang di balik selimut mulai menggeliat pelan. Dalam gerak cepat Seung Ri segera memakai kembali pakaiannya satu persatu. Menggantikan baju mandi yang sedari tadi melilit tubuhnya. Sebelum beranjak menuju pelataran parkir, ia meletakkan selembar catatan kecil di sebelah nampan berisi secangkir kopi hangat serta dua potong roti lapis keju. Lalu seperti yang biasa dilakukan ke semua pelanggan, ia membisikkan ucapan selamat pagi. Seung Ri tahu mereka menyukai cara dia mengucapkannya, mereka selalu bilang suara manisnya terdengar sensual di telinga.

Mata berkantung Seung Ri menyipit saat Camaroo kuning terangnya berpapasan dengan sebuah mobil klasik di jalan satu jalur. Merasa mengenali siapa pengemudi mobil tersebut, ia bergegas memutar arah kemudi guna mengekorinya. Mungkin sedikit senggolan kecil di bamper belakang mobil itu bakal menimbulkan kesan baik bagi perkenalan mereka. Dibanding bertukar sapa biasa. Mulutnya sudah gatal hendak mengatakan, “Astaga! Aku tak menyangka kita akan berkenalan dalam keadaan begini!” Pria berkemeja putih itu bahkan sudah merancang beragam skema jitu dalam naskah perkenalan mereka.

Dan sayangnya, niat buruk Seung Ri batal di detik-detik terakhir. Dering ponsel di kursi penumpang keburu merusak rencananya. Padahal tinggal sedikit lagi moncong Camaroo akan mencium sasaran betulan. “Ya, Ra. ada apa?… Baiklah, setengah jam lagi aku tiba di tempatmu.” Lekas mengarahkan mobil ke arah sebaliknya. Melupakan tujuan semula dan dalam kecepatan tinggi mobilnya melesat menelusuri jalan raya.

Tak sampai lima menit setibanya ia di tempat janjian—rumah Seo Ra, roman terganggu bercampur jengkel sudah terpeta jelas di garis wajah tampan Seung Ri. “Astaganaga, kukira kau kenapa-napa, sayang! Tau begini…, ah! Sudahlah, lupakan! Capek batin kakanda memikirkannya.”Terselip kejengkelan dalam pita suara Seung Ri, sedang sepasang alisnya saling bertaut. Dia marah, sangat malahan. Bagaimanapun selama menyetir tadi, bermacam skenario terburuk yang melibatkan Seo Ra dan Ji Yong terus silih berganti mengisi jadwal tayang dalam otaknya. Mengganggu konsentrasinya hingga ia nyaris menabrak seekor anjing Labrador yang mendadak melintas di depannya. Kini pun kala mereka saling bertatap muka, pikiran itu masih bercokol tak mau pergi.

“Dengar, aku tidak mau mencari Ji Yong-mu itu! Dia mau hilang kek, tenggelam kek atau main bunuh-bunuhan sama teman-temannya sekalian, BUKAN URUSANKU! Serius. Oh! Ya, satu lagi….” Ia sengaja memenggal kalimat hanya untuk menyandarkan punggung ke sandaran sofa beludru. “Sebenarnya kau sadar tidak sih, kau sedang meminta tolong kepadaku? Pria yang bisa saja melindas badan kerempeng Ji Yong-mu berulang kali!” pungkas Seung Ri kemudian.

“Kau tidak mungkin begitu. Dan Tuan Muda Lee Seung Hyun yang terhormat, bukankah kau sendiri yang bilang mau membantuku mendapatkannya? Nah, kenapa kau berubah pikiran hari ini? Dan sebagai informasi dia sudah gemukan sekarang.”

“Panggil aku Seung Ri tanpa Tuan Muda apalagi Seung Hyun, bisa Seo Ra-ku sayang? Oke, kuakui aku memang bilang mau membantumu. Tapi bukan begini caranya. Dan aku tidak peduli.”

“Bagaimana caranya?”

“Buat dia cemburu. Gunakan aku!”

Dua setengah menit merupakan waktu yang menjeda obrolan mereka. Keduanya saling bungkam dan saling melempar tatapan tak habis pikir. Satu-satunya sumber suara yang mengalahkan detik jarum jam antik—di ruangan itu–adalah suara gaduh di ruang menonton. Di mana adik Seo Ra dan temannya sedang bermain video game.

“Cemburu? Ri, kausakit? Bagaimana mungkin pria yang mati-matian menghindariku bisa cemburu?”

“Lantas kenapa kau masih bersikeras mengejar-ngejar pria model begitu?”

“Aku juga tidak tau mengapa! Yang kutau, aku mencintai Ji Yong.”

“Terserah apa katamu, dalam pandanganku kau cuma terobsesi padanya.” komentar Seung Ri sarkatis. Terangkatnya sebelah alis Seung Ri seakan tengah mencemooh Seo Ra yang duduk gelisah di seberang meja.

“Kupikir kau orang yang paling mengerti bagaimana aku menjalani hidup di masa lalu. Kau pun tau berkat Ji Yong lah aku bisa berubah dan melanjutkan hidup. Setidaknya, sedikit lebih baik.”

Seung Ri dibuat bungkam memerhatikan mimik hampir menangis milik Seo Ra. Wanita itu melempar ponsel yang sejak tadi tiada henti dicek ke samping. Dia menyadari bahwa yang harus dilakukannya kini hanyalah Seung Ri mencekal tangan kanan Seo Ra. Menghentikan gerakan mencakari guratan-guratan kasar yang tercetak jelas tangan kiri, terutama di sekeliling pergelangan tangan.

“Kau masih ingat, kan, bagaimana aku dulu?”

“Ya. Aku ingat.”

“Mereka bilang aku gila.”

“Aku akan mencarinya untukmu.” Seung Ri mengganti topik. Berusaha tersenyum sehangat mungkin dan bertutur kata selembut mungkin saat melepaskan tangan Seo Ra.

“Dan Ji Yong datang menyelamatkanku. Jadi, mana bisa aku….”

“Ya akutau. Kau sudah cerita. Tenangkan dirimu.”

“Ri….”

“Diam Ra, plis.”

Seung Ri tiba-tiba berdiri sewaktu Seo Ra hendak membuka mulutnya kembali. Melangkah lebar-lebar menuju ruang menonton. Dia berdiri di belakang sofa seraya menepuk pelan pundak adik Seo Ra. “Min Ho, bisakah kau membuat nunamu diam sebentar?”

Tak ada reaksi sedikit pun dari orang yang ia ajak bicara. Bocah itu masih sibuk memijit stik di genggamannya. Reaksi justru datang dari pemuda yang selalu membuatnya naik darah serta gundah gulana. Jin Woo. Bocah itu secara otomatis menoleh begitu mendengar kata nuna terucap. Memandang Seung Ri bak memandang tersangka maling jemuran. Terkesan penuh selidik dan curiga.

Tanpa berkata-kata Jin Woo mengempaskan stik PS lalu beranjak pergi. Tindak-tanduk bocah itu gampang ditebak oleh Seung Ri yang menduga bahwa Jin Woo pasti bermaksud mengambilkan segelas air dingin untuk Seo Ra.

Sementara Seung Ri tentu saja menatap aneh Jin Woo yang makin menjauh. Mulai mempertanyakan mengenai siapa yang sebetulnya adik kandung Seo Ra. Dan selagi berpikir, seakan hendak memprovokasi sekaligus balas dendam, Seung Ri berbicara lantang, “Min Ho, hentikan apa pun yang kau mainkan kini. Atau haruskah aku MEMPERKOSA BIBIR NUNA-MU dulu supaya dia diam?”

Sesuai dugaan, Jin Woo kontan menghambur ke ruang tamu sambil menggumam, “Takkan kubiarkan.” Di waktu-waktu genting begini, otak Jin Woo selalu mengomandoi saraf motoriknya supaya bergerak lebih cepat.

Seung Ri terbahak menemukan tampang seputih porselen bocah itu semakin kelihatan pucat pasi gara-gara ancaman asalnya. Dia menganggap sifat polos-polos mudah dibodohi pemuda itu bisa ia manfaatkan untuk menghiburnya sekali-kali. Atau mungkin dia akan memanfaatkan pemuda itu untuk membuat Ji Yong kesal nantinya. Derai tawa Seung Ri lekas berganti batuk beruntun ketika Min Ho menjawab dengan santainya, “Terserah, toh, nuna sudah cukup umur. Lebih baik hyung cari kamar saja sana!” Mata kiri bocah berperawakan tinggi berisi itu bahkan berkedip jenaka.

Apa?

Seriusan?”

“Serius. Kalau hyung sudah bosan hidup dan sudi dimutilasi oleh Jin Woo hyung, juga aku tentunya. Aku tak keberatan.”

====== BLACK ======

Waktu menunjukkan jam satu kurang lima menit sewaktu Seung Ri dengan enggan memasuki sebuah kelab malam tempat Ji Yong bekerja sebagai seorang DJ. Baru dua tiga langkah menapakkan kaki, ingar-bingar house music sudah memekakkan telinga. Makin dalam ia masuk makin menggelegar pula bebunyian berirama tersebut terdengar. Seung Ri duduk di salah satu kursi meja bar, memesan Water-mix. Dari sudut matanya, Seung Ri menangkap sosok pria tengah berkutat dengan  peralatan elektronik ber-headphones yang dapat menimbulkan irama penuh improvisasi. Mengajak siapa pun untuk meliuk di lantai dansa. Seung Ri sontak mendecih mengetahui betapa keren dan piawai Ji Yong di atas sana. Walau lama-kelamaan anggota tubuh Seung Ri mengkhianati sang pemilik. Pertama-tama kepalanya mengangguk-angguk pelan sesuai entakan. Lalu disusul gerakan tangan kiri yang sekonyong-konyong mengikuti gerakan mengayun DJ. Teriakan heboh pun terlepas mengiringi sorak-sorai tepuk tangannya. Namun selepas entakan musik memelan, Seung Ri menyadari betapa konyol dirinya kini. Dia bergegas memasang tampang pasif seiring derap tapal sepatu yang kian mendekat.

Tak pernah sekali pun Seung Ri merasa sebenci ini terhadap setelan necis merah maroon-nya. Tetapi ketika menyesap Water-mix lambat-lambat selagi kursi di sisi kanan berderit, tahu-tahu dia membencinya. Alasannya sepele. Seung Ri berpikir bahwa penampilannya kurang trendi. Cenderung terasa seperti bapak-bapak frustasi yang minum-minum selepas pulang kantor. Pokoknya, kalah saing dibanding gaya asal tabrak si DJ.

“Kau Seung Ri temannya Seo Ra, kan? Katakan padanya, aku baik dan tak perlu mengkhawatirkanku.”

Dahi Seung Ri mengernyit tidak suka mendengar Ji Yong menyampaikan kalimat dalam nada sok perhatian. “Katakan sendiri. Lagipula aku ke sini untuk bersenang-senang, bukan untuk menjadi pengantar pesanmu.”

“Oh, selamat bersenang-senang kalau begitu. Kukira kau sedang memata-mataiku. Menggantikan Seo Ra,” Ji Yong mengangsurkan beberapa lembar uang ke bartender sembari berucap, “Aku yang traktir.” Kembali menuju panggung. Meninggalkan Seung Ri yang memelototi kepergiannya.

“Aku yang traktir.” Menirukan logat Ji Yong. Sama persis. “Cih! Kaupikir dengan mentraktir sudah cukup meredakan amarahku!” Teriakannya kalah keras dibanding ingar-bingar yang mulai menggelegar lagi ke sepenjuru kelab. Ledakan amarahnya makin menjadi-jadi ketika mata mereka berserobok, dan mendapati seringai licik menghiasi wajah oval Ji Yong. Pria dalam balutan kaos putih tanpa lengan berpola salib dan celana jins compang-camping legam itu, seakan-akan mengejek Seung Ri melalui gestur tubuhnya.

“Sialan!”

 

======= BLACK ======

Oke sip part 2 yang gaje ini akhirnya berhasil saia selesaikan. Terima kasih bagi yang kemarin sudah berbaik hati berkomentar ataupun nge-like. Saia ngebut nulis demi kalian. Dan karena menjadi silent reader adalah HAM jadi saia tidak bisa berbuat apa-apa (._.) *ngasah golok* betewe mv baru abang-abang tamvan yang bikin hati gonjang-ganjing. Udah keluar dengan ganteng hohoho (sdh pd tau keles). Bye-bye…. \(“o”)/ Nb : kalo ada typo deesbe maapken kesiweran mata akika.